Tag Archives: sekolah autis

Apa Itu Autisme??

Standar

Istilah Autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri “Isme” yang berarti suatu aliran. Berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Budiman (2002), menjelaskan bahwa kata Autisme berasal dari bahasa Yunani “ Autos “ yang berati self (diri), Kata Autisme ini di gunakan di dalam bidang psikiatrik untuk menunjukan gejala menarik diri.

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu “autos” yang berarti diri sendiri. Ungkapan tersebut pertama kali digunakan oleh seorang psikiater Eugen Bleuler pada awal abad ke-20, yang mengarahkan pada keadaan penarikan diri kehidupan sosial ke dalam dunianya sendiri yang ia temukan pada salah seorang pasiennya.

Menurut DSM-IV-TR, gangguan autisme adalah keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi dan keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologis dari individu.

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autisme infantil gejalanya sudah ada sejak lahir. Autisme dikenalkan pertama kali pada tahun 1943 oleh Dr. Leo Kanner. Seorang psykiater dari Universitas Johns Hopkins. Autism menurut Kanner  (1943 dalam paper-nya Autistic disturbance of Affective contact ) adalah sebagai berikut :

          “ nability  to relate  them   selvesiu  the  ordinary  way to people  and  

            situtions     from the beginning of life.”   ( Ketidak  mampuan  untuk

            berhubungan   terhadap  diri  mereka sendiri   dengan   kebiasaan

             cara kepada    orang-orang dan   situasi dari awal kehidupannya ).

Kanner menyatakan bahwa pada sekelompok anak yang ditelitinya terlihat adanya gangguan mendasar dimana anak-anak tersebut sejak awal kehidupan tidak mampu melakukan interaksi sosial terhadap orang lain atau situasi tertentu seperti halnya anak normal pada umumnya yang mampu mengadakan interaksi dengan anak sebayanya dan dengan orang dewasa pada umumnya.

Dalam Autism Explaining the Enigma  (Uta Frith, 1993 :1)

Autism has to be seen not just as a snapshot,since it is a disorder thet affects  all of mental development, symptoms will, necessarily, look very different ages. Certain features will not be become apparent until later, others disappear with time”.

Autisme harus dilihat tidak sama satu dengan yang lainnya, karena adanya perbedaan yang spesifik, adalah satu ketidak-teraturan itu mempengaruhi semua perkembangan  mental, gejala akan, seharusnya, melihat sangat berbeda umur. Fitur tertentu tidak akan dijadi nyata hingga kemudian,  orang lain menghilang lenyap dengan waktu ”.

Wikipedia (2008), mendefinisikan autisme adalah merupakan kecacatan perkembangan tegal  “ pervasive developmental  disorder “ yang melibatkan funsi otak, ia merupakan kecacatan neurologi dan bukan kecacatan psikiatris “ psychiatric  disorder” mudah, walau ciri-ciri biasa termasuk masalah hubungan sosial, komunikasi, emosi dan juga minat. 

Gejala-gejala autisme biasanya muncul sebelum anak mencapai 3 tahun dan pada sebagian lainnya mengalami sejak lahir atau genetika dan pada banyak kasus anak autisme banyak yang mengalami alergi yang akut terutama glutein dan casein serta gula. Anak autisme mengalami kelainan pada Neuroanatomis (anatomi susunan saraf pusat)  sehingga mengganggu pada proses tumbuh kembangnya.  Diagnosis autisme tercantum dalam DSM-IV TR. 2000 yang menyebutkan bahwa,  anak autisme mengalami kesulitan interaksi sosial, kesulitan komunikasi verbal dan non verbal dan minat yang terbatas : Komunikasi,  Interaksisosial,   Gangguan sensoris,  Pola bermain yang monoton, Perilaku tantrum,  dan Emosi yang mudah berubah.

Menurut Sunartini, (2003:24) autisme disebut sebagai kelainan neuropskiatrik yang ditandai oleh gangguan sosial, gangguan komunikasi dan gangguan interaksi timbal balik disertai keterbatasan pola tingkah laku dan perhatian. Sedangkan menurut Widyawati, (2002: 43) Kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan baik mental maupun fisik anak. Apabila tidak dilakukan intervensi dini dan tata laksana yang tepat, sulit diharapkan perkembangan yang optimal akan terjadi pada anak-anak tersebut. Dengan berbagai gangguan mental dan prilaku yang semakin mengganggu dan tentunya semakin banyak dampak negatif yang akan terjadi dikemudian hari

Gejala autisme  biasanya muncul ketika umur 18-24 bulan  anak bisa saja berkembang normal, tetapi kemudian perkembangannya berhenti dan mereka mengalamai kemunduran.  Konsumsi obat pada ibu menyusui, semua obat yang dikonsumsi ibu menyusui akan dikeluarkan melalui ASI dalam kadar rendah atau tinggi, sehingga obat tersebut dapat masuk  ke tubuh bayi. Budhiman Melly ( 2002: 65) menyatakan beberapa jenis obat yang  sering kita pakai dan perlu dihindari selama   menyusui adalah :

a. obat anti alergi atau antihistamin, obat-obat,Obat migrant, seperti ergot yang bisa mengurangi jumlah ASI, obat tidur/penenang, obat antimuntah, obat persendian seperti kolkisinm, aspirin juga perlu dihindari karena menyebabkan pembekuan darah, menganggu fungsi trombosit.

b.Hormon ; semua jenis hormon jangan diminum selama menyusui, terutama hormone endrogen, karena dapat menyebabkan maskulinisasi pada bayi perempuan dan pubertas dini pada bayi laki-laki, dan dapat mengurangi jumlah ASI, termasuk pil KB juga perlu dihindari.

c. Antibiotik ; antara lain tetrasiklin ( menghambat pertumbuhan tulang dan mewarnai gigi), kloramfenikol (menekan sumsum tulang bayi), klindamisin, metronidazol, sulfonamide, dan kotrimoksasol (menyebabkan anemia hemolitik dan mata menjadi berwarna kuning).

Juga hindari mengkonsumsi makanan laut selama menyusui karena sudah terkontaminasi dengan merkuri dan logam berat lainnya. Richard Lathe dari Pieta Research di Edinburgh, Inggris, mengatakan bahwa kemungkinan besar autisme terjadi karena logam-logam berat tersebut. Pofirin adalah suatau jenis protein yang memegang peranan penting dalam memproduksi haem, yaitu komponen yang membawa oksigen dalam hemoglobin. Logam berat menghalangi produksi haem dan meyebabkan porfirin tertumpuk dalam urine. Para peneliti tersebut mengembalikan kadar porfirin menjadi normal pada 12 anak dengan cara melakukan kelasi, yaitu membersihkan dan mengeluarkan logam berat dari tubuh, dan mendapatkan hasil yang positif.

Menurut    D.S. Prasetyono,  (2008:23),  beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika memegang peranan penting pada terjadinya autisme. Bayi kembar satu telur akan mengalami gangguan autisme  yang mirip dengan saudara kembarnya. Juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga atau dalam satu keluarga besar mengalami gangguan yang sama. “Akan tetapi gejala autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Autisme bisa saja tidak muncul meskipun anak membawa gen autisme. Jadi ini memerlukan faktor pemicu lain “. Selain itu pengaruh virus seperti rubella, toxo, herpes,  jamur,  nutrisi yang buruk,  perdarahan, keracunan makanan, dan sebagainya pada kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan interaksi.

Akhir-akhir ini dari penelitian terungkap juga hubungan antara gangguan pencernaan dan gejala autisme. Ternyata lebih dari 60 % penyandang autisme  ini mempunyai sistim pencernaan yang kurang sempurna. Makanan tersebut berupa susu sapi (casein) dan tepung terigu (guletin) yang tidak tercerna dengan sempurna. Protein dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino, tapi juga menjadi peptide, suatu bentuk rantai asam amino yang seharusnya dibuang lewat urine. Ternyata pada penyandang autisme, peptide ini diserap kembali oleh tubuh, masuk kedalam aliran darah, masuk ke otak dan dirubah oleh reseptor opioid menjadi morphin yaitu casomorphin dan gliadorphin, yang mempunyai efek merusak sel-sel otak dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan prilaku.

2.   Etiologi

              Berdasarkan Kongres Nasional Autisme Indonesia tahun 2003, gangguan autisme dapat disebabkan oleh faktor-faktor, kelainan organik-neurologik-biologik, faktor genetik, faktor imunologik,  faktor perinatal,  faktor neuroanatomi.

Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Courchesne menemukan suatu kesamaan yaitu adanya penurunan jumlah sel Purkinje pada hemisfer serebelum dan vermis. Penelitian lanjutan oleh Courchesne dkk. menghasilkan hipotesis baru. Para peneliti berpendapat bahwa pada saat lahir bayi autisme memiliki ukuran otak yang normal. Namun setelah mencapai usia dua atau tiga tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi normal, terutama pada lobus frontalis dan otak kecil, yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter dan gray matter yang berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah. Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial. Danuatmajmaja (2003),  Menyebutkan beberapa hal yang di duga  menjadi penyebab terjadinya autisme, yaitu antara lain :

a.  Gangguan Susunan Saraf Pusat

Ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa tempat di dalam otak anak autisme. Banyak anak autisme mengalami pengecilan otak kecil, terutama pada lobus VI – VII, Seharusnya, dilobus VI – VII banyak terdapat sel purkinje. Namun, pada anak autisme  jumlah sel purkinje sangat kurang. Akibatnya, produksi seretonin kurang, menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi didalam otak sehinggan emosi anak autisme sering terganggu. Penemuan ini membantu dokter menentukan obat yang lebih tepat. Obat-obatan yang banyak dipakai adalah dari jenis psikotropika yang bekerja pada susunan saraf pusat.

Menurut Rudy sutadi (2008), autisme terjadi akibat kerusakan saraf otak  ini  muncul karena beberapa faktor, termasuk genetika dan faktor lingkungan.

Autisme terbagi dua yaitu :

1.  Autisme klasik manakala kerusakan sel saraf yang sudah

terjadi sejak lahir,   karena sewaktu mengandung ibu bayi

terinfeksi virus  rubella,  atau  terpapar logam-logam berat

berbahaya   seperti  merkuri dan timbal  yang  berdampak

mengacaukan  proses pembentukan sel-sel saraf  di  otak

janin.

2. Autisme regresif, muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun tiba-tiba saat usia anak  2  tahun kemampuan anak merosot, yang tadinya anak mampu membuat  2 samapai 3 kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau melakukan kontak mata.

WordPress (2008), memaparkan bahwa autisme pada anak-anak di sebut autisme infantil. Schizophrenia juga merupakan gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri seperti berbicara, tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri. Tetapi ada perbedaan yang jelas antara autisme dan schizoprhrenia. Schizoprhrenia di sebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan.

b.  Gangguan Sistem Pencernaan

Ada hubungan gangguan pencernaan dengan gejala autis. Tahun 1997, seorang pasien autis, Parker Beck, (2004) mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk. ternyata, ia kekurangan enzim sekretein. Setelah mendapat suntikan sekretein, Beck sembuh dan mengalami kemajuan luar biasa. Kasus ini memicu penelitian-penelitian yang mengarah pada gangguan metabolisme pencernaan.

c.  Gangguan Peradangan Dinding  Usus

Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan usus pada sejumlah anak autisme yang memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya peradangan usus pada sebagian besar anak. Andrew ( 2004) ahli pencernaan (gastro enterolog) asal Inggris, menduga peradangan tersebut disebabkan virus, mungkin virus campak. Itu sebabnya, banyak orang tua yang kemudian menolak imunisasi MMR (measles, mumps, ribella) karena diduga menjadi biang keladi autis pada anak. Temuan wakefield diperkuat sejumlah riset ahli medis lainnya.

d.  Faktor Genetika ( Keturunan )

Adriana S. Ginanjar (2008:30), ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisme, namun gejala autisme baru  muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja autisme tidak muncul, meski anak membawa gen autisme, Jadi perlu faktor pemicu lain. Studi tentang anak kembar membuktikan bahwa faktor genetik  berperan penting. Bila  salah satu anak menunjukan gejala spektrum autisme, maka kembaranya punya resiko yang tinggi memiliki gangguan yang sama.

e.  Keracunan Logam Berat

Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak autisme. Diduga  kemampuan sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetik. Penelitian selanjutnya menemukan logam berat seperti arsenik (As), antimoni (Sb), Kadmium (Cd), air raksa (Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat.

Tahun 2000, Sallie Bernard (2004), ibu dari anak autisme, menunjukkan penelitiannya, gejala yang diperlihatkan anak-anak autisme sama dengan kercunan merkuri. Menurut Yurike Fauzia dkk ( 2009 :17),  Dalam teori biologis diperkirakan 75%-80% penyandang autisme ini mempunyai retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi. Dengan perbandingan laki-laki : perempuan = 4 :1 meningkatnya insidens kejang (25 %) dan ada beberapa kondisi kelainan genetika dan virus yang menyerang otak. Pada kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan interaksi.
Akhir-akhir ini dari penelitian terungkap juga hubungan antara gangguan pencernaan dan gejala autisme. Ternyata lebih dari 60 % penyandang autisme ini mempunyai sistem pencernaan yang kurang sempurna. Makanan tersebut berupa susu sapi (casein) dan tepung terigu (gluten) yang tidak tercerna dengan sempurna. Protein dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino tapi juga menjadi peptida, suatu bentuk rantai pendek asam amino yang seharusnya dibuang lewat urine.

Ternyata pada penyandang autisme, peptida  ini diserap kembali oleh tubuh, masuk kedalam aliran darah, masuk ke otak dan dirubah oleh reseptor opioid menjadi morphin yaitu casomorphin dan gliadorphin, yang mempunyai efek merusak sel-sel otak dan membuat fungsi  otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan gangguan perilaku.

f. Pentingnya Diet CFGF ( Cassein Free dan Glutein Free)

Riset terakhir menujukan adanya ganggua metabolisme pada anak autisme. Bonny Danuatmaja (2004:9), bahwa penting bagi anak autisme memeriksakan feses (tinja), pemeriksaan urin, pemeriksaan darah, pemeriksaan rambut dan menerapkan diet ketat.

g. Kromosom Abnormal

Kromosom abnormal penyebab autisme, hasil penelitian Stven Scherer  dari Universitas Toronto, Kanada menemukan kaitan antara genetika  dengan autisme. Penelitian ini di danai oleh Autism Genome Project Cabang Kanada, para peneliti mengumpulkan gen dari 1.168 keluarga. Tiap keluarga itu memiliki dua anak autisme, Scherer memeriksa  kromosom X yang berjumlah 23. Ternyata pada masing-masing kromosom  ada beberapa gen  yang abnormal, dari situlah di simpulkan bahwa autisme bersifat genetika, dan pada kromosom nomor 11 itulah yang paling menonjol kelainannya.

Menurut beberapa penelitian, abnormalitas yang terjadi meliputi perbedaan struktur otak, ketidakmatangan sel-sel otak pada amigdala, dan perkembangan subtansia alba dan grisea yang berlebihan pada lobus frontalis. Kondisi ini menyebabkan ganguan pada fungsi integrasi sensorik, yaitu kemampuan untuk mengorganisir dan memproses input sensorik, serta menggunakannya untuk berespon secara tepat. Adanya disfungsi sensorik ini berdampak besar pada perkembangan aspek kognitif, perkembangan emosi, dan kemampuan interaksi sosial. Akibat kondisi neurologis dan integrasi sensorik yang terganggu, maka perkembangan aspek-aspek tersebut juga mengalami keterlambatan atau bermasalah.

3. Epidemiologi

DSM-IV-TR menetapkan prevalensi rata-rata untuk kasus gangguan autisme adalah lima kasus per 10.000 individu, namun terdapat variasi yang luas dari tiap penelitian. Kasus gangguan autisme diperkirakan rata-rata delapan kasus per 10.000 anak (0,08 %). Survey epidemiologi multipel pada sejumlah negara-negara di Eropa menunjukkan hasil yang bervariasi antara dua hingga 30 kasus per 10.000 anak.

Wing dan Potter meneliti 39 populasi yang berasal dari 12 negara yang berbeda dan menemukan bahwa selama dekade terakhir, prevalensi untuk gangguan autisme meningkat antara 3,8 sampai 60 per 10.000 anak. Angka tersebut menunjukkan peningkatan yang jauh dibanding yang pernah dilaporkan 30 tahun yang lalu.

Widyawati ( 2002:25), autisme  di temukan pada  4-5 per 10.000 anak (penelitian Lotter, di Inggris 1966) kemudian di temukan peningkatan prevalensi autisme : 13 per 10.000 anak. Dalam penelitian Tanoue, di Jepang (1988) dan penelitian terakhir tahun 2000 menunjukan angka 1 per 150 anak.

Di indonesia belum ada angka yang pasti mengenai prevalensi autisme, namun  dari data yang ada yang ada di poliklinik psikiatri anak dan remaja RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1989 hanya di temukan  2 pasien, dan pada tahun 2000 tercatat 103 pasien baru, terjadi peningkatan sekitar 50 kali. Biasanya autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki di banding dengan anak  perempuan , sekitar 2,6- 4:1.

WordPress.com (2008), memaparkan bahwa autisme di indenesia di perkirakan lebih dari 400.000 anak. Sedangkan di dunia pada tahun 1987 prevalensi autisme diperkirakan 1: 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian angka itu berubah menjadi 1: 500 kelahiran, dan pada tahun 2000, naik menjadi 1 : 250 anak.

Di katakan bahwa anak laki-laki lebih mudah mengalami gangguan pada otak. Namun anak perempuan autisme biasanya mempunyai gejala yang lebih berat dan pada tes intelegensia mempunyai hasil yang lebih rendah di banding anak laki-laki. Pada penelitian terakhir  di temukan pula bahwa penyandang autisme berasal dari keluarga dengan berbagai tingkat sosio – ekonomi dan intelegensia serta letak geografis di manapun di dunia.

Pada tahun 2003, Center for Disease Control atau CDC, suatu badan pemerintah yang sangat berpengaruh di Amerika melaporkan bahwa mereka menemukan 987 kasus autisme di antara 289.456 anak di Atlanta. Pada tahun 1996, di temukan 3-4 kasus autisme per 10.000 anak berumur 3-10 tahun. Majalah Inklusi (2009:2), Menyatakan bahwa epidemi autisme melanda seluruh dunia, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika dan Swedia jumlah anak autisme  mencapai 1 dari 150-170 anak. Hal yang sama terjadi di Kanada, di mana kurang lebih 1.000 anak autisme lahir  setiap tahunnya.

Dian Yulistuti (2011:5) sebuah penelitian terbaru di AS menyebutkan, terdapat  5 juta atau 9,5 persen anak di Amerika yang di diagnosis ADHD dan hasil penelitian 2007 ini berdasarkan riset terhadap 4.000 lebih orang tua anak kelas V di Houston, Los Angeles dan Alabama.